Rebo wekasan diambil dari bahasa jawa. Rebo artinya hari rabu dan wekasan artinya terakhir. Adapun yang dimaksud di sini adalah acara ritual yang biasa dilakukan sebagian masyarakat pada hari rabu akhir bulan shofar, karena menurut persepsi mereka saat itu adalah saat petaka.
Acaranya adalah sholat empat rakaat, setiap rakaat membaca surat al-Fatihah satu kali, surat al-Kautsar tujuh belas kali, surat al-Ikhlas limabelas kali, surat al-Falaq dan an-Nas dua kali, kemudian membaca doa bikinan mereka yang berisi kesyirikan dan kesesatan.
Demikian juga mereka berkumpul-kumpul di masjid menunggu rajah-rajah bikinan kyai mereka, lalu menaruhnya di gelas dan meminumnya. Tidak hanya sampai di situ, tetapi mereka juga mengadakan perayaan makan-makan lalu berjalan di rumput-rumput dengan keyakinan agar sembuh dari segala penyakit.

Bila kita cermati dua khurofat di atas, niscaya akan kita dapati keduanya kembali pada masalah Tathoyyur yaitu merasa sial dengan burung atau lainnya, yang hal ini termasuk kategori perkara jahiliyyah yang dibatalkan Islam.
Perlu diketahui bahwa khurafat ini sampai sekarang masih bercokol di sebagian masyarakat. Sebagai contoh, sebagian masyarakat masih meyakini bila ada burung gagak melintas di atas maka itu pertanda akan ada orang mati, bila burung hantu berbunyi pertanda ada pencuri, bila mau bepergian lalu di jalan dia menemui ular menyebrang maka pertanda kesialan sehingga perjalanan harus diurungkan.


Kalau sekiranya dia bimbang dalam melangkah, maka hendaknya dia melakukan shalat istikharah, berdoa kepada Allah dan bermusyawarah kepada orang-orang yang berpengalaman. Dengan demikian insyaa Allah dia akan melangkah dengan penuh optimis diri. [1]
Tambahan dari kami:
Sesungguhnya menganggap Rebo Wekasan atau Rabu Wekasan sebagai waktu turunnya bala dan bencana adalah termasuk tathayyur. Tathayyur adalah beranggapan akan ditimpa sial atau musibah terhadap sesuatu tanpa ada sebab syar'i ataupun inderawi.
Thiyarah atau tathayyur termasuk syirik yang menafikan kesempurnaan tauhid, karena ia berasal dari apa yang disampaikan syaithan berupa godaan, was-was dan bisikannya. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam banyak melarang tathayur dalam banyak sabdanya,
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.
“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.” [HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 909), Abu Dawud (no. 3910), at-Tirmidzi (no. 1614), Ibnu Majah (no. 3538), Ahmad (I/389, 438, 440), Ibnu Hibban (Mawaariduzh Zham’aan no. 1427), at-Ta’liiqatul Hisaan ‘alaa Shahiih Ibni Hibban (no. 6089)]
Dalam Shahiih Muslim disebutkan, dari Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Di antara kami ada orang-orang yang bertathayyur.” Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Itu adalah sesuatu yang akan kalian temui dalam diri kalian, akan tetapi janganlah engkau jadikan ia sebagai penghalang bagimu.’” [HR. Muslim (no. 537)]
Telah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَنْ يَقُوْلَ أَحَدُهُمْ :اَللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ.
‘Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah (tathayyur), maka ia telah berbuat syirik.” Para Sahabat bertanya: “Lalu apakah tebusannya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Hendaklah ia mengucapkan: ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung itu (yang dijadikan objek tathayyur) melainkan makhluk-Mu dan tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.’” [HR. Ahmad (II/220), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir da-lam Tahqiiq Musnad Imam Ahmad (no. 7045).]
Terlebih lagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk beranggapan sial pada Bulan Safar (sebagaimana ini adalah kebiasaan orang Arab ketika itu), beliau bersabda,
لاَ عَدْوَى ، وَلاَ طِيَرَةَ ، وَلاَ هَامَةَ ، وَلاَ صَفَرَ
“Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah), tidak dibenarkan beranggapan sial, tidak dibenarkan pula beranggapan nasib malang karena tempat, juga tidak dibenarkan beranggapan sial di bulan Shafar” (HR. Bukhari no. 5757 dan Muslim no. 2220).
Maka seorang muslim hanya bertawakkal kepada Allah dan tidaklah meyakini sesuatu yang ghaib kecuali melalui apa yang dikabarkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
[1] Ditulis Oleh : Utadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi hafidzohulloh. Sumber: channel *Media Da'wah Al-Furqon*
0 komentar:
Posting Komentar