Oleh : Muhammad Danu Kurniadi
Kita sangat sering
mendengar istilah “Ahlusunnah Wal Jamaah” di dalam kehidupan sehari-hari. Namun
tahukah kita, Apa itu “Ahlusunnah Wal Jamaah” ? Siapakah mereka ? Sejak
kapankah muncul istilah tersebut ? dan bagaimana ciri-ciri mereka ?. Oleh
karena itu marilah kita membahasnya satu-persatu agar kita bisa mengetahui
dengan benar siapakah sesungguhnya “Ahlussunnah Wal Jamaah” itu.
1. Apa
Itu Ahlussunnah Wal Jamaah
Secara bahasa
kata “Sunnah” berarti الطريقة والسيرة
محمودة كانت أو مذمومة (Jalan dan riwayat hidup yang baik atau buruk). Adapun pengertiannya
secara istilah adalah
الهدي الذي كان عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم
وأصحابه علما واعتقادا وقولا وعملا وتقريرا
“Petunjuk yang dijalani oleh
Rasulullah dan para sahabat beliau ; dalam ilmu, amalan, keyakinan, ucapan,
perbuatan dan ketetapan”.[1]
Adapun kata
“Al Jamaah” secara bahasa berarti العدد الكثير من الناس
(sekolompok
manusia yang banyak, atau juga berarti القوم
الذي اجتمعوا على أمر ما (kaum yang berkumpul dalam suatu perkara). Adapun secara
istilah adalah
جماعة المسلمين وهم سلف
هذه الأمة من الصحابة والتابعين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين الذين اجتمعوا على
الكتاب والسنة وساروا على ما كان عليه رسول الله ظاهرا وباطنا
”Jamaah kaum muslimin, mereka adalah generasi terdahulu umat Islam
dari kalangan sahabat, tabi’in dan yang mengikuti jejak mereka hingga hari
Kiamat, yang mereka berkumpul di atas Al Qur’an dan Sunnah Rasul, serta mereka
berjalan di atas jalan Rasulullah secara dzahir atau batin”.[2]
Maka itulah
yang dimaksud dengan Ahlusunnah wal jamaah yaitu orang-orang yang senantiasa
berpegang teguh kepada Al Qur’an dan sunnah dengan berpegang teguh kepada
pemahaman generasi terdahulu dari umat ini dari kalangan para sahabat, taibi’in
dan tabiut tabiin.
2. Sejak
Kapan Istilah Ahlussunnah Wal Jamaah Muncul
Penggunaan
istilah Ahlusunnah Wal Jamaah telah ada sejak zaman para sahabat, ketika Allah
Azza wa Jalla berfirman
يَوْمَ
تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ
“Pada hari yang
di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram.”
(QS. Ali Imron : 106), maka Abdullah bin Abbas menafsirkan,
حين تبيض وجوه أهل السنة والجماعة وتسود وجوه أهل البدعة
والفرقة
“Ketika menjadi putih wajah-wajah Ahlusunnah Wal Jamaah dan
menjadi hitam wajah-wajah ahli bid’ah dan furqah (perpecahan)”.[3]
Istilah ini pun
kemudian digunakan oleh ulama-ulama setelahnya seperti Imam Ayyub As Sikhtiyani
(w. 131 H), beliau mengatakan,
إني
أخبر بموت الرجل من أهل السنة فكأني أفقد بعض أعضائي
“Jika aku dikabarkan tentang kematian seorang dari Ahlusunnah, maka
seakan-akan aku kehilangan sebagian dari tubuhku”.[4]
3. Ciri-ciri
Ahlussunnah Wal Jamaah
a. Berpegang
teguh dengan ajaran Rasulullah dan Para Sahabatnya
Mereka
mengamalkan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
أوصيكم
بتقوى الله والسمع والطاعة وإن تأمر عليكم عبد، فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافا
كثيرا، فعليكم بسنتي وسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المَهْدِييْنَ، عَضُّوا
عليها بالنَّوَاجِذِ ،وإيَّاكُم ومُحْدَثَاتِ الأمورِ؛ فإِنَّ كلَّ بدعةٍ ضلالةٌ
“Aku
wasiatkan kepada kalian untuk senantiasa mendengar dan taat kepada pemimpin
walaupun kalian dipimpin oleh seorang budak. Sesungguhnya siapa yang masih
hidup setelahku, akan menjumpai perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian
untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang telah
mendapat petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi geraham. Serta jauhilah perkara
(agama) yang diada-adakan karena setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. At
Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”)
b. Kembali
kepada Al Qur’an dan Sunnah jika ada perselisihan
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai
orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu adalah
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa : 59)
c. Memuliakan
para ulama dan tidak fanatik buta kepada salah seorang diantara mereka
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang keutamaan para ulama :
إِنَّ
الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا
دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَه أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Para
ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham
(harta). Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya
sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak (menguntungkan).” (HR. Ahmad,
At-Tirmidzi dan Abu Dawud. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan sanadnya hasan dalam
Shahih at-Targhib wat Tarhib 1/139)
Sesungguhnya
ahlusunnah memuliakan para ulama akan tetapi mereka tidak fanatik buta kepada
salah seorang di antara mereka. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :
أُرَاهُمْ
سَيَهْلِكُونَ أَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
وَيَقُولُ: نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ؟
“Aku
melihat mereka akan binasa, aku menyampaikan kepada mereka “Nabi shallallahu
‘alihi wa sallam bersabda demikian”, namun mereka berkata “Abu Bakar dan Umar
melarangnya”. (Jami’ bayan Al-‘Ilmi wa fadlihi 1/129 no 443, Musnad Ahmad no.
3121)
Begitu
juga sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma
قَالَ
عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ لمن سأله عن
مسألةٍ ، وقال له : إِن أَباك نهى عنها، فقال : أَأَمْرُ رَسُوْلِ اللهِ أَحَقُّ
أَنْ يُتَّبَعَ ، أَوْ أَمْرُ أَبِي؟!
Suatu
ketika ada seseorang yang bertanya kepada Ibnu Umar tentang suatu perkara,
kemudian orang tersebut membantahnya dengan ucapan : “Sesungguhnya ayahmu (Umar
bin Khatthab) melarang hal itu”. Maka Ibnu Umar berkata : “Apakah perintah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih berhak diikuti ataukah
perintah ayahku??” (Zaadul Ma’aad 2/178).
Inilah
gambaran kecintaan para sahabat terhadap para ulama seperti Abu Bakar dan Umar.
Mereka mencintai para sahabat senior akan tetapi mereka tidak fanatik buta,
sehingga mereka tidak meninggalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam demi ucapan manusia selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
d. Memprioritaskan
dakwah kepada aqidah dan tauhid
Hal
ini sebagaimana apa yang telah dilakukan oleh para Nabi dan Rasul, bahwa inti
dakwah para Nabi dan Rasul adalah tauhid, Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ
إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan
Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan
kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Sesembahan (yang hak diibadahi) melainkan Aku,
maka sembahlah Aku”. (QS Al Anbiyaa’: 25)
Begitu
pula Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga memulai dakwahnya
dengan tauhid, kemudian ketika beliau mengutus sahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu
‘anhu untuk berdakwah ke negeri Yaman, beliau memerintahkan sahabat Muadz untuk
menjadikan Tauhid adalah hal yang pertama kali didakwahkan kepada manusia.
Bahkan diakhir hayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dihadapan kaum
muslimin sedang jumlah kaum muslimin sudah banyak, beliau tetap mendakwahkan
aqidah dan tauhid,
Sebagaimana
diriwayatkan dari Aisyah radhiyallohu ‘anha ia berkata, “Tatkala Nabi menjelang
wafat, beliau menutupkan kain ke wajahnya, lalu beliau buka lagi kain itu
tatkala terasa menyesakkan nafas. Ketika beliau dalam keadaan itulah, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
لَعَنَ
اللَّهُ اليَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ» ،
لَوْلاَ ذَلِكَ أُبْرِزَ قَبْرُهُ غَيْرَ أَنَّهُ خُشِيَ أَنَّ يُتَّخَذَ
مَسْجِدًا
”Allah
melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur Nabi
mereka sebagai masjid, (Aisyah berkata), ‘Kalau bukan karena hal itu, niscaya
kubur beliau akan dinampakkan, hanya saja beliau takut atau ditakutkan kuburnya
akan dijadikan masjid’” (HR. Bukhari no.
1390, 4441 dan Muslim no. 529).
Inilah pembahasan singkat yang berkaitan
dengan Ahlusunnah Wal Jamaah, semoga Allah menjadikan kita termasuk diantara
orang-orang yang hidup dan meninggal diatas jalan Ahlusunnah Wal Jamaah.
Wallahu a’lam
[1] Abdullah
bin Abdul Hamid Al Atsari, Al Wajiz Fii ‘Aqidah Al-Salaf Al-Sholih
(Istanbul: Daarul Ghuraba’ 1435 H), hal. 33
[2] Ibid,
hal. 34.
[3]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim (Kairo : Darul Hadis, 2002), Hal.
480.
[4] Imam Al-Laalika’I, Syarah Ushul I’tiqad
Ahl Al-Sunnah Wa Al Jamaah (Kairo : Darul Hadis, 2004), Hal. 45.
0 komentar:
Posting Komentar